“Tidakkah engkau tahu bahwa Dia Esa yang mencintai keesaan dan mencintai yang hanya mencintai-Nya?
Jika Dia mendekatkanmu kepada-Nya melalui selain Diri-Nya, cintamu kepada-Nya menjadi tak benar dan sia-sia.
Akibatnya, cinta kepada-Nya di dalam hatimu menjadi rusak. Maka Dia akan menahan tangan orang lain dari membantumu dan lidah mereka dari memujimu dan kaki mereka dari mengunjungimu agar mereka tak memalingkanmu dari-Nya.”
“Hati mencintai yang berbuat kebaikan dan benci kepada yang berbuat keburukan”.
Pertama
Kedua
”Jika penyembahanmu dianggap sah (oleh Alloh), maka Dia akan mencintaimu dan mengokohkan kecintaan-Nya di hatimu, menenteramkanmu dengan-Nya sehingga engkau menjadi orang yang diridhai-Nya dalam segala keadaan.
Kendati bumi semula terasa sempit bagimu, niscaya Dia akan melapangkannya.
Dan jika semua pintu terkunci untukmu dengan keleluasaan-Nya, maka engkau pun tidak marah kepada-Nya dan tidak mendekati pintu yang salah”.

Pertama
Kedua
“Aku cinta (ingin) dikenal, maka Aku ciptakan makhluk, lalu Aku mengenalkan Diri kepada mereka, dan mereka pun mengenal-Ku.”
Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya, Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi, dan Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali diri yang dikasihi.
Dari 3 ranah tersebut, maka kualitas cinta bisa dibagi kepada tiga tingkatan, yaitu ;
Cinta biasa, yakni selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, suka menyebut asma Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan, Cinta orang shiddiq, yakni orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, sebuah kualitas cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Kualitas cinta semacam ini membuat seseorang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifat sendiri, sedangkan hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu kepada-Nya, Cinta orang arif, yaitu orang yang tahu dan yakin betul pada Tuhan. Cinta semacam ini muncul karena keyakinan nya yang sunguh sunguh pada Tuhan. Dia tidak pernah meragukan dan mengkhawatirkan hidupnya, karena percaya Tuhan selalu menghidupkan dan mencukupi berbagai kebutuhan hidupnya. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.
Oleh karena itu, menarik dicermati komentar al-Ghazâlî mengenai syair di atas yang menyimpulkan bahwa dalam diri Rabi’ah al-‘Adawiyah terdapat dua cinta, yakni:
Pertama
Kedua