وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ. الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ. وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
Allah berfirman, yang artinya, “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (Qs. Al-Muthaffifin: 1-3)
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Muthaffifin adalah orang yang meminta hak mereka secara utuh namun mengurangi hak orang lain. Artinya, mereka mengumpulkan dua sifat, yaitu ‘syuhh’ dan bakhil. Syuhh adalah menuntut hak secara penuh tanpa ada tawar-menawar, sedangkan bakhil adalah tidak mau melaksanakan kewajiban, yang dalam hal ini adalah menyempurnakan takaran dan timbangan.
Contoh yang Allah berikan dalam ayat ini terkait dengan takaran dan timbangan adalah sekadar contoh, sehingga bisa dianalogkan dengan hal-hal yang serupa. Sehingga setiap orang yang menuntut haknya secara utuh namun tidak mau menunaikan kewajiban dengan baik termasuk dalam ayat di atas.
Semisal seorang suami yang menuntut agar istrinya memberikan hak-hak suami secara utuh dan dengan penuh perhatian, namun giliran hak istri, dia tidak mau menunaikan dan memperhatikannya.
Demikian pula, kita jumpai sebagian orangtua yang menginginkan agar anak-anaknya memberikan hak orangtua dengan utuh, yaitu berbakti kepada orangtuanya dengan harta, badan, dan semua bentuk bakti. Akan tetapi, mereka menyia-nyiakan hak anak mereka dan mereka tidak mau melaksanakan kewajiban sebagai orangtua. Kami katakana bahwa orangtua ini adalah muthaffif, sebagaimana suami model pertama juga muthaffif.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 93-95)
Demikian pula, seorang pekerja atau pegawai yang menuntut agar mendapatkan gaji yang utuh, namun datang dan perginya sangat tidak tepat waktu juga termasuk muthaffif yang Allah tegur dengan teguran keras dalam ayat di atas.
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الأُمَّهَاتِ، وَوَأْدَ الْبَنَاتِ، وَمَنَعَ وَهَاتِ
Dari al-Mughirah bin Syu’bah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan mendurhakai ibu, membunuh anak perempuan, dan mana’a wahat.” (HR. Bukhari no. 2408, dan Muslim no 4580)
Yang dimaksud “mana’a wahat” adalah tidak mau melaksanakan kewajiban, atau meminta hal yang bukan haknya.
Seorang pegawai yang tidak menunaikan kewajibannya dengan baik, semisal dalam hal disiplin waktu, namun menuntut kompensasi yang lebih tinggi daripada pekerjaan yang dilakukan, dikhawatirkan termasuk dalam hadits di atas.
Syekh Abdul Muhsin al-Abbad, pakar hadits dari kota Madinah saat ini, mengatakan, “Setiap pegawai dan pekerja wajib menggunakan jam kerjanya hanya untuk mengerjakan pekerjaan yang menjadi kewajibannya. Tidak diperbolehkan menggunakan jam kerja untuk urusan lain selain pekerjaan yang menjadi kewajibannya.
Tidak boleh memanfaatkan seluruh jam kerja atau sebagian jam kerja untuk kepentingan pribadi atau kepentingan orang lain, jika tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya. Sesungguhnya, jam kerja tidak lagi menjadi milik pegawai atau pekerja tersebut, namun milik pekerjaan dengan kompensasi gaji yang didapatkan dari pekerjaan tersebut.” (Kaifa Yu`addi al-Muwazhzhaf al-Amanah, hal. 4)
Al Mu`ammar bin Ali bin al Mu`ammar al-Baghdadi pernah menasihati Nizhamul Mulk, seorang menteri di masanya di Mesjid Jami’ al-Mahdi. Di antara nasihat beliau, “Telah dimaklumi bersama, wahai pemuka Islam, bahwa setiap orang memiliki pilihan tentang apa yang diinginkan dan apa yang akan dilakukan. Jika mau maka dilanjutkan, dan jika tidak mau maka berhenti di tengah jalan.
Adapun orang, dia memiliki jabatan tertentu, sehingga dia tidak memiliki hak pilihan dalam keinginan dan tindakan yang akan dilakukannya, karena orang yang memiliki jabatan di pemerintahan itu, pada hakikatnya adalah buruh yang telah menjual waktunya dengan kompensasi gaji yang diterima.
Oleh karena itu, waktu siang hari (jam kerja) tidak bisa dipergunakan seenaknya sendiri. Dia tidak boleh melakukan shalat sunnah dan beri’tikaf sunnah (pada waktu jam kerja, pent) sehingga dia tidak memikirkan dan mengatur hal-hal yang menjadi kewajibannya. Hal itu dikarenakan, amal-amal tersebut bernilai sunnah sedangkan pekerjaan adalah kewajiban yang harus dikerjakan.
Engkau, wahai pemuka Islam, meski engkau berstatus sebagai menteri namun hakikatnya engkau adalah pelayan masyarakat. Negara telah menggajimu dengan gaji yang besar supaya engkau menggantikan tugas negara di dunia dan di akhirat.
Di dunia untuk mewujudkan kebaikan bagi kaum muslimin, sedangkan di akhirat untuk menjawab pertanyaan Allah. Engkau akan berdiri di hadapan Allah, lalu Allah akan berkata kepadamu, “Telah kuberikan kekuasaan kepadamu untuk mengatur negeri dan rakyat, lalu apa saja yang telah kau lakukan untuk mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan?” (Dzail Thabaqat al-Hanabilah, karya Ibnu Rajab:, 1/43)
Sungguh sangat menyedihkan, banyak kaum muslimin yang melalaikan kewajiban ini. Seorang pegawai atau pekerja dengan santainya seakan tidak merasa berdosa pulang sebelum jam kerja berakhir dan terlambat tiba di tempat kerja, tanpa alasan yang jelas. Demikian pula, seorang guru namun jarang masuk kelas untuk menunaikan kewajibannya sebagai pengajar.
Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.